Berselancar di atas ombak gonta-ganti kurikulum

Posted by Sugeng Susilo Adi
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
on November 08, 2024

blog-post-image


Tantangan disiplin ilmu Teknologi Pendidikan di masa pemberlakuan kurikulum dan kebijakan baru nyata adanya. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa dalam Kabinet Merah Putih 2024 ini bidang pendidikan dan kebudayaan dipecah menjadi tiga kementrian: Pendidikan Dasar dan Menengah (Dasmen), Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Diktisaintek), dan Kebudayaan. Pemecahan ini jelas akan berdampak pada banyak hal, namun yang paling menjadi perhatian publik adalah pergantian kurikulum. Pameo telah hidup lama dalam sejarah pendidikan di tanah air tercinta: ganti menteri, ganti aturan.


Namun, setidaknya ada dua isu menarik yang mengemuka dari para pejabat baru kementrian itu, baik melalui pernyataan publik yang telah mereka sampaikan, maupun latar belakang pejabat kementrian itu sendiri. Dan menariknya, sekaligus menantangnya, ketiga isu tersebut langsung atau tidak langsung beririsan dan bersinggungan dengan dunia kita, dunia Teknologi Pendidikan.


Pertama, tentu saja pergantian kurikulum untuk tingkat dasar dan menengah. Menteri Pendidikan Dasar dan menengah, Abdul Mu’ti, walaupun belum secara resmi mengumumkan pemberlakuan kurikulum baru, namun telah memberikan bocoran lewat kata kunci: deep learning, serta menjanjikan kurikulum yang lebih ramping. Mu’ti menyatakan bahwa model deep learning dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang bersifat mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning (pembelajaran mendalam, bermakna dan menyenangkan). Bagaimana implementasinya pada tataran satuan pendidikan? Kita perlu sabar menunggu, sambil seruput secangkir kopi.


Kedua, menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Diktisaintek), Prof. Satriyo Soemantri Brojonegoro, sejauh ini belum mengatakan adanya perubahan kurikulum. Berbeda dengan Mas Nadiem Makarim yang langsung menggemakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MKBM), program link and match dalam bentuk pemagangan di industri. Prof. Brojonegoro sejauh ini belum berbicara tentang kurikulum. Satu pernyataan menarik yang menjadi viral dari beliau justru tentang tidak adanya kewajiban untuk pulang bagi alumni penerima beasiswa LPDP. Viral dan menarik, yang disambar oleh para netizen +62 dengan berbagai komentar menggelitik seperti: saatnya bahagia upload status dengan tema full time traveler, part time students. Sebagaimana kita ketahui, di berbagai media sosial, penerima beasiswa LPDP yang studi di luar negeri sering diidentikan dengan kegiatan pamer foto jalan-jalan, dan ketika selesai studi lalu menyalahkan pemerintah, dan membanding-bandingan kondisi pendidikan di tanah air dengan kondisi di LN. Ya, ojo dibanding-bandingke, saing-saingke….yo mesti kalah.


Masih tentang isu kedua, yang menarik adalah tampilnya Prof. Stella Christie sebagai wakil menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi. Satu hal yang menarik dari wamen yang satu ini adalah latar belakang pendidikannya sebagai pakar cognitive science. Sebuah bidang ilmu yang bersinggunan erat dengan bidang kita, Teknologi Pendidikan. Dalam beberapa kesempatan, beliau menjelaskan apa itu cognitive science dengan bahasa yang lugas dan mudah dicerna.


Dua isu di atas akan menjadi tantangan menarik bagi para pengembang Teknologi Pendidikan. Setidaknya, ada harapan kepada pengembang TP mendapatkan peran yang lebih besar dalam kontribusinya memberikan alternatif pemikiran di dalam pengambilan keputusan terkait kurikulum baru yang akan diberlakukan.


Para pengembang TP diharapkan akan mendapat tantangan baru untuk melakukan penelitian-penelitian terkait dua isu besar: deep learning dan cognitive science. Dalam deep learning, isu-isu penelitian tentang pembelajaran adaptif dan personalisasi, analisis dan prediksi kinerja siswa, penilaian otomatis, penerjemahan dan pemahaman bahasa, pengembangan chatbot pembelajaran, analisis emosi dan keterlibatan, simulasi dan realitas virtual (VR). Sementara itu dalam cognitive scienceisu-isu strategi pembelajaran yang efektif tentang bagaimana otak memproses informasi, dosen dapat mengajarkan strategi belajar berbasis bukti seperti spaced repetition (pengulangan berkala), active recall (mengulang secara aktif), dan chunking (pengelompokan informasi) yang dapat meningkatkan daya ingat dan pemahaman mahasiswa, pemanfaatan teknologi ‘dalam’ pembelajaran, pengelolaan stress dan kesejahteraan mental, peningkatkan keterampilan berpikir kritis dan penyelesaian masalah, dan evaluasi dan umpan balik yang berkelanjutan menjadi isu menarik untuk dijadikan bahan kajian.


Lalu, bagaimana peran kita sebagai pengembang TP di tengah pergantian kurikulum? Dalam tataran praktis, mengintensifkan pertemuan-pertemuan ilmiah semacam konferensi internasional, seminar, loka karya dengan teman terkait isu-isu tersebut di atas dirasa menjadi kegiatan yang bermakna. Dan yang lebih penting, hasil kajian para pengembang TEP harus diupayakan untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan di tingkat pemerintahan di dalam mendesain keurikulum pada tingkatan satuan pendidikan. Pertemuan-pertemuan ilmiah hendaknya tidak hanya dijadikan ajang reuni dan jalan-jalan ke kota-kota lain, namun juga menghasilkan rekomendasi yang dikawal. Dibutuhkan pendekatan politik untuk menjadikan oraganisasi pengembang TP menjadi pressure groups agar bisa memberikan kontribusi bermakna bagi pengembangan kurikulum ke depan. Sebuah tantangan untuk berselancar.


Kaki Arjuno, November 2024

Sugeng Susilo Adi

Dosen Universitas Brawijaya