Pemecatan Shin Tae-Yong dan Implikasinya terhadap Desain Pembelajaran Bahasa dan Pemahaman Lintas Budaya
Posted by Sugeng Susilo Adi
Universitas Brawijaya
on January 10, 2025
Illustration generate by AI
Drama di balik pemecatan Shin Tae-yong (STY) dari Timnas Indonesia mencerminkan kompleksitas manajemen sepakbola. Meski sukses membawa Timnas naik ke peringkat FIFA 125, ketegangan internal, khususnya dengan pemain diaspora, memicu keretakan. Laga kontra Bahrain dan China mengungkap ketidakharmonisan yang memengaruhi performa. Ketua PSSI, Erick Thohir, mengambil keputusan sulit demi menjaga stabilitas tim. Rencana mendatangkan Patrick Kluivert sebagai pengganti juga menuai pro-kontra, mengingat rekam jejaknya yang kurang meyakinkan. Publik diimbau untuk tetap mendukung Timnas tanpa terjebak polarisasi. Sepakbola bukan hanya taktik, tapi harmoni, semangat kolektif, dan kebanggaan bangsa. Dukungan publik tetap kunci keberhasilan.
Pengalaman Shin Tae-yong (STY) melatih Korea Selatan, yang merupakan negara monoetnis dan monokultur, bisa menjadi salah satu faktor yang memengaruhi tantangannya saat melatih Timnas Indonesia, yang lebih beragam secara budaya dan etnis. Di Korea Selatan, hampir semua pemain berasal dari latar belakang budaya yang sama, sehingga komunikasi dan nilai-nilai kolektif dalam tim lebih mudah dibangun. Hal ini berbeda dengan Indonesia, yang memiliki pemain dari latar belakang budaya lokal yang beragam serta pemain diaspora dari Eropa dengan cara berpikir dan bekerja yang berbeda.
Pemain Korea cenderung mengikuti hierarki dan menghormati otoritas pelatih tanpa banyak pertanyaan. Sebaliknya, pemain diaspora Indonesia, terutama yang dibesarkan di Eropa, lebih terbiasa dengan komunikasi langsung dan dialog terbuka, yang mungkin terasa menantang bagi STY. Timnas Indonesia mengharuskan pelatih memahami dinamika multikultural, seperti cara berkomunikasi dengan pemain diaspora dan lokal secara berbeda, serta mengelola perbedaan nilai-nilai kerja, prioritas, dan kebiasaan. Pengalaman STY sebelumnya di Korea mungkin tidak mempersiapkan sepenuhnya untuk tantangan ini.
Pengalaman STY di Korea yang homogen membuatnya sukses membangun disiplin dan strategi, tetapi di Indonesia, ia dihadapkan pada tantangan unik memimpin tim yang multikultural, membutuhkan lebih banyak fleksibilitas dan pemahaman lintas budaya.
Sepakbola tidak hanya soal taktik dan performa di lapangan, tetapi juga tentang membangun harmoni dalam tim. Dalam konteks globalisasi, tim nasional tidak lagi terdiri dari pemain lokal semata, melainkan juga melibatkan diaspora yang membawa nilai-nilai dan budaya berbeda. Pengalaman Shin Tae-yong (STY) sebagai pelatih Timnas Indonesia mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam mengelola tim multikultural, yang salah satunya terkait dengan keterbatasan komunikasi lintas bahasa dan budaya. Situasi ini menyoroti pentingnya pembelajaran bahasa Inggris dan pendidikan lintas budaya dalam menciptakan kesuksesan dalam tim yang heterogen.
Bahasa sebagai Jembatan Komunikasi
Bahasa Inggris berfungsi sebagai lingua franca dalam konteks multikultural. Sayangnya, STY, yang hanya fasih berbahasa Korea, menghadapi kendala besar dalam berkomunikasi langsung dengan pemain, terutama para diaspora yang dibesarkan di Eropa. Keterbatasan ini membuatnya sangat bergantung pada penerjemah, yang sering kali dapat menghambat nuansa pesan, emosi, dan arahan yang ingin disampaikan. Dalam konteks olahraga, di mana komunikasi cepat dan efektif sangat penting, keterbatasan bahasa menjadi penghalang signifikan.
Ketika pemain tidak memahami arahan pelatih dengan jelas, kesalahpahaman taktik dan strategi dapat terjadi, seperti yang terlihat pada konflik setelah pertandingan melawan Bahrain. Pemain diaspora yang mencoba berdiskusi soal strategi merasa terabaikan, yang bisa jadi dipicu oleh kesenjangan bahasa dan gaya komunikasi. Dalam hal ini, pembelajaran bahasa Inggris bagi pelatih menjadi esensial, bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai simbol keterbukaan terhadap kebutuhan pemain.
Pendidikan Lintas Budaya: Memahami dan Mengelola Perbedaan
Selain bahasa, perbedaan budaya juga menjadi tantangan besar. Pengalaman STY sebelumnya di Korea Selatan, negara yang monoetnis dan monokultur, membuatnya terbiasa dengan hierarki tegas dan kepatuhan tanpa banyak diskusi. Namun, pemain diaspora Indonesia, yang dibesarkan di lingkungan egaliter seperti Eropa, khususnya Belanda, cenderung mengharapkan dialog terbuka dan penghargaan terhadap pandangan mereka. Ketidaksesuaian gaya kepemimpinan ini menciptakan gesekan antara pelatih dan pemain. Pendidikan lintas budaya bagi pelatih, pemain, dan manajemen PSSI sangat penting untuk mengurangi konflik semacam ini. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang nilai-nilai budaya masing-masing, tim dapat menciptakan harmoni yang lebih baik. Misalnya, pelatih dapat memahami pentingnya memberikan ruang bagi pemain untuk menyuarakan pendapat mereka, sementara pemain diaspora dapat belajar menghormati gaya kepemimpinan pelatih yang lebih hierarkis.
Perlunya Desain Pembelajaran Konstruktif untuk Pembelajaran Bahasa dan Pemahaman Lintas Budaya
Kasus pemecatan Shin Tae-yong (STY) sebagai pelatih Timnas Indonesia memberikan pelajaran penting tentang kompleksitas komunikasi lintas budaya. Ketergantungan STY pada penerjemah, yang dapat memicu distorsi pesan dan informasi, menjadi salah satu tantangan utama dalam kepemimpinannya. Di samping itu, perbedaan budaya antara STY, pemain diaspora Indonesia yang berlatar belakang Belanda, dan pemain lokal Indonesia memperlihatkan perlunya pemahaman mendalam tentang lintas budaya untuk menciptakan harmoni dalam tim. Dari kasus ini, kita dapat menarik pelajaran tentang pentingnya desain pembelajaran konstruktif yang tidak hanya berfokus pada penguasaan bahasa tetapi juga pemahaman budaya.
Bahasa sebagai Alat Utama Komunikasi
Dalam konteks profesional seperti sepakbola, bahasa adalah alat utama untuk menyampaikan instruksi, membangun hubungan, dan menyatukan visi di antara anggota tim. Ketika bahasa yang digunakan oleh pelatih tidak dipahami langsung oleh mayoritas pemain, seperti dalam kasus STY yang hanya bisa berbahasa Korea, risiko kesalahpahaman meningkat. Ketergantungan pada penerjemah, meski membantu, tetap rentan terhadap distorsi informasi, baik dalam bentuk kehilangan makna, interpretasi berbeda, atau hilangnya nuansa emosional.
Untuk mengatasi tantangan ini, pembelajaran bahasa harus dirancang secara konstruktif. Pembelajaran tidak hanya bertujuan mengajarkan tata bahasa atau kosa kata, tetapi juga kemampuan untuk menyampaikan ide secara jelas dan efektif dalam konteks tertentu. Dalam kasus ini, pelatih seperti STY, yang bekerja dalam lingkungan multikultural, perlu mempelajari bahasa Inggris sebagai lingua franca untuk menjembatani komunikasi dengan para pemain diaspora maupun pemain lokal.
Mengintegrasikan Bahasa dan Budaya dalam Pembelajaran
Desain pembelajaran konstruktif untuk bahasa dan lintas budaya harus terintegrasi. Pendekatan ini dapat mencakup simulasi situasi nyata, seperti latihan komunikasi dalam konteks multikultural, diskusi kasus lintas budaya, atau pelatihan interaksi berbasis tim. Selain itu, pembelajaran harus melibatkan refleksi terhadap pengalaman nyata, seperti mempelajari kesalahan komunikasi yang terjadi di lapangan dan mencari solusi bersama.
Penerapan teknologi pendidikan juga dapat mendukung desain pembelajaran ini. Platform online atau aplikasi interaktif dapat menyediakan skenario komunikasi lintas budaya, lengkap dengan umpan balik otomatis untuk meningkatkan kemampuan peserta. Teknologi ini dapat membantu pelatih, pemain, atau siapa pun yang bekerja dalam lingkungan multikultural untuk mengasah kemampuan komunikasi mereka secara lebih efektif.
Model Pembelajaran Konstruktif untuk Bahasa dan Pemahaman Lintas Budaya di Kelas
Berikut adalah contoh model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam tataran kelas, menggunakan pendekatan konstruktif yang mengintegrasikan pembelajaran bahasa dan pemahaman lintas budaya:
1. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning - PBL)
Dalam model ini, siswa dibagi ke dalam kelompok yang merepresentasikan tim multikultural, misalnya “Timnas Sepakbola Multinasional.” Setiap kelompok diberi tugas untuk merancang strategi komunikasi efektif yang dapat diterapkan oleh pelatih dan pemain dari berbagai latar budaya, misalnya,
§ siswa mempelajari frasa penting dalam bahasa inggris untuk komunikasi profesional (contoh: giving instructions, asking for clarification, providing feedback).
§ setiap kelompok menganalisis perbedaan budaya, misalnya antara budaya langsung (direct) seperti belanda dan budaya tidak langsung (indirect) seperti korea atau indonesia.
§ kelompok membuat video simulasi situasi konflik lintas budaya di lapangan (misalnya, pemain tidak memahami instruksi pelatih). video harus menunjukkan bagaimana konflik tersebut dapat diatasi melalui komunikasi yang baik.
2. Pembelajaran Berbasis Kasus (Case-Based Learning - CBL)
Dalam model ini, dilakukan diskusi studi sasus STY dan timnas Indonesia.
Guru menghadirkan studi kasus tentang tantangan komunikasi dan budaya dalam kepemimpinan STY.
§ Siswa membaca teks deskripsi kasus (misalnya ketergantungan pada penerjemah, konflik strategi dengan pemain diaspora).
§ Siswa berdiskusi dalam kelompok kecil untuk menganalisis masalah. Mereka diminta untuk mengidentifikasi akar permasalahan, misalnya perbedaan gaya komunikasi atau kegagalan menyampaikan pesan secara efektif.
§ Setiap kelompok direkomendasikan menerapkan strategi komunikasi yang melibatkan pendekatan bahasa Inggris sederhana, budaya inklusif, dan sikap terbuka.
3. Role Play (Permainan Peran)
Permainan peran berupa simulasi negosiasi antarbudaya. Siswa memainkan peran sebagai pelatih, pemain diaspora, dan pemain lokal.
§ Guru memberikan skenario, misalnya pelatih memberikan instruksi strategi pertandingan, tetapi pemain tidak memahaminya karena hambatan bahasa atau budaya.
§ Siswa memainkan peran mereka sambil mencari solusi untuk mengatasi hambatan komunikasi. Mereka diminta untuk menggunakan bahasa Inggris sederhana dan teknik mendengarkan aktif.
§ Setelah simulasi, guru memfasilitasi refleksi kelas tentang apa yang berjalan baik dan bagaimana komunikasi dapat ditingkatkan.
4. Integrasi Teknologi dan Media Pembelajaran
Integrasi ini dapat dilakukan dengan penggunaan platform interaktif untuk pemahaman lintas budaya. Guru menggunakan aplikasi atau situs web seperti Kahoot!, Mentimeter, atau Google Classroom untuk membuat kuis dan tugas interaktif tentang perbedaan budaya.
§ Siswa menjawab kuis interaktif tentang kebiasaan komunikasi di berbagai budaya (contoh: bagaimana orang Belanda memberikan kritik dibandingkan dengan orang Korea).
§ Siswa membuat presentasi pendek menggunakan infografik untuk menjelaskan bagaimana mengatasi perbedaan budaya tersebut dalam bahasa Inggris.
5. Pembelajaran Kolaboratif antar Kelas
Kelas Virtual Exchange dengan kelas internasional dapat dilakukan dalam model ini.
Guru bekerja sama dengan kelas dari negara lain untuk mengadakan sesi pertukaran virtual.
§ Siswa di kelas bertukar pesan dengan siswa dari negara lain menggunakan bahasa Inggris, membahas perbedaan budaya mereka dalam olahraga atau topik lain.
§ Siswa mempresentasikan temuan mereka kepada kelas, mengidentifikasi nilai-nilai lintas budaya yang penting untuk kolaborasi yang sukses.
Simpulan
Dalam konteks globalisasi yang semakin kompleks, desain pembelajaran konstruktif yang mengintegrasikan pembelajaran bahasa Inggris dan pemahaman lintas budaya menjadi kebutuhan yang mendesak. Kasus STY dan Timnas Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan dalam komunikasi multikultural tidak hanya memerlukan keterampilan bahasa, tetapi juga pemahaman mendalam terhadap perbedaan budaya. Dengan pendekatan seperti pembelajaran berbasis proyek, studi kasus, permainan peran, dan kolaborasi internasional, siswa dapat mengembangkan kompetensi bahasa sekaligus sensitivitas budaya yang diperlukan untuk berinteraksi dalam lingkungan multikultural. Melalui pendidikan yang dirancang dengan baik, generasi mendatang dapat menjadi pelopor kerja sama global yang inklusif dan efektif.
#Sugeng Susilo Adi
#Dosen Universitas Brawijaya-Pengamat Sepakbola