MICROTEACHING HYBRID SYNCHRONOUS UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI TPACK CALON GURU

Posted by Nur Maslikhatun Nisak
Universitas Muhammmadyah Sidoarjo
on July 04, 2025

Tekanan global terhadap mutu guru masa depan terus meningkat.

Di tengah perubahan cepat teknologi, pendidikan tidak boleh ketinggalan. Apalagi di era pasca-pandemi, saat transformasi digital menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan, termasuk ruang kelas dan ruang praktik mahasiswa calon guru. Maka muncul pertanyaan penting: apakah model pembelajaran konvensional masih relevan dalam menyiapkan guru yang tidak hanya paham konten, tetapi juga piawai secara pedagogik dan teknologi?

Dalam tulisan ini, saya mencoba menjawab tantangan tersebut dengan mengembangkan sebuah model pembelajaran inovatif: Microteaching Hybrid Synchronous—sebuah pendekatan yang memadukan pembelajaran praktik mengajar dalam format daring dan luring secara sinkron, berbasis teknologi informasi, kecerdasan buatan (AI), dan augmented reality (AR).

TPACK: Kompetensi Masa Depan Guru

Di balik model ini, terdapat fondasi teoritik yang kuat, yaitu konsep Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK). TPACK adalah kerangka yang menekankan pentingnya integrasi antara pengetahuan materi ajar, strategi pedagogik, dan teknologi digital.[1] Calon guru tidak cukup hanya paham isi (content), atau metode mengajar (pedagogic), tetapi juga harus mampu menggunakan teknologi untuk menyampaikan pembelajaran secara kreatif dan efektif. Masalahnya, banyak calon guru PAI yang masih gagap teknologi. Di sisi lain, pelatihan microteaching seringkali hanya menekankan aspek pedagogis dan konten tanpa mengintegrasikan teknologi secara optimal. Padahal, peserta didik zaman sekarang (generasi Z dan Alpha) adalah digital native yang menuntut pengalaman belajar yang kontekstual, interaktif, dan berbasis teknologi.

Mengapa Hybrid Synchronous?

Model hybrid synchronous memungkinkan mahasiswa menjalani praktik mengajar baik secara tatap muka maupun daring secara real-time[2]. Dengan platform pembelajaran interaktif, AI untuk analisis kinerja mengajar, dan AR untuk simulasi kelas digital, calon guru PAI dapat berlatih dalam berbagai konteks[3] sekaligus belajar menghadapi tantangan pendidikan masa kini. Lebih dari sekadar fleksibilitas ruang dan waktu, pendekatan ini menjawab kebutuhan pembelajaran yang adaptif dan autentik[4]. Dalam praktiknya, mahasiswa tidak hanya merekam video praktik, tetapi juga melakukan interaksi langsung dengan rekan atau dosen melalui platform daring, sambil mendapatkan umpan balik berbasis AI, dan refleksi berbasis instrumen penilaian TPACK.

Dari Ruang Kelas Menuju Ruang Realitas Digital

Hasil pengembangan model ini menunjukkan bahwa pendekatan hybrid synchronous tidak hanya meningkatkan pemahaman konseptual mahasiswa, tetapi juga memperkaya keterampilan teknologis mereka. Dalam uji coba terbatas, mahasiswa merasa lebih percaya diri dalam mengelola teknologi pembelajaran, menyusun RPP berbasis digital, dan memanfaatkan media interaktif dalam simulasi mengajar. Lebih dari itu, teknologi AR digunakan untuk menyimulasikan situasi kelas dengan karakteristik siswa yang berbeda-beda. Mahasiswa dapat belajar merespons gangguan, pertanyaan kritis, bahkan dinamika emosi siswa secara langsung dalam simulasi. Teknologi bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi menjadi ruang belajar yang imersif dan reflektif.

Filsafat di Balik Inovasi: Konstruktivisme dan Konektivisme

Model ini tidak lahir dari ruang kosong. Ia berakar pada teori belajar konstruktivisme[5], yang menekankan pentingnya pengalaman nyata dan refleksi dalam proses belajar[6], serta konektivisme, yang melihat pembelajaran sebagai jejaring informasi melalui berbagai sumber dan teknologi[7]. Dalam praktik hybrid synchronous, mahasiswa membangun pengetahuan bukan hanya dari dosen, tetapi juga dari interaksi, eksperimen, dan pengalaman digital[8].

Kampus Merdeka Harus Digital-Native Friendly

Kementerian Pendidikan dengan program Kampus Merdeka mendorong pendidikan yang adaptif, fleksibel, dan kontekstual. Namun implementasi nilai-nilai ini di lapangan sering kali terjebak pada jargon tanpa strategi nyata. Pengembangan model pembelajaran microteaching hybrid synchronous yang saya lakukan adalah wujud konkret dari visi Kampus Merdeka, dengan sentuhan teknologi dan landasan filosofis yang kuat.

Saatnya Bertransformasi

Sudah waktunya kita meninjau ulang cara kita mendidik calon guru. Dunia mereka bukan lagi sekadar ruang kelas empat dinding, melainkan ruang virtual yang tak berbatas. Microteaching Hybrid Synchronous bukan hanya solusi teknis, tetapi juga paradigma baru dalam pendidikan guru. Ia membentuk guru-guru yang tidak hanya cakap secara pedagogik, tetapi juga visioner, reflektif, dan literat teknologi. Jika kita serius ingin mencetak guru yang relevan dengan zaman, maka investasi pada model pembelajaran seperti ini bukan lagi opsi, melainkan keharusan.



Referensi:

[1]     M. J. Koehler, P. Mishra, dan W. Cain, “What is Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK)?,” J. Educ., vol. 193, no. 3, hal. 13–19, 2013, doi: 10.1177/002205741319300303.

[2]     A. R. Riyanda, T. Agnesa, A. Wira, A. Ambiyar, S. Umar, dan U. Hakim, “Hybrid Learning: Alternatif Model Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19,” J. Basicedu, vol. 6, no. 3, hal. 4461–4469, 2022, doi: 10.31004/basicedu.v6i3.2794.

[3]     A. Harun, N. Asyiah, C. Wijaya Kuswanto, A. H. Iqbal, dan N. Diadara, “Model Pembelajaran Hybrid Learning Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam,” Al-Tadzkiyyah Pendidik. Islam. J., vol. 12, no. 2, hal. 349–359, 2021.

[4]     D. Taruli, R. Anakampun, T. Samosir, A. Nababan, dan M. Widiastuti, “Development of Microteaching Guide Book Based on Hybrid Learning to Improve Teaching Skills of Prospective Teachers,” AL-ISHLAH J. Pendidik., vol. 15, no. 3, hal. 2725–2732, 2023, doi: 10.35445/alishlah.v15i3.2919.

[5]     N. Nurlina, N. Nurfaidah, dan A. Bahri, Teori Belajar dan Pembelajaran, no. April. 2021.

[6]     M. Mulyadi, “Teori Belajar Konstruktivisme Dengan Model Pembelajaran (Inquiry),” Al Yasini J. Keislaman, Sos. Huk. dan Pendidik., vol. 7, no. 2, hal. 174, 2022, doi: 10.55102/alyasini.v7i2.4482.

[7]     G. Siemens, S. Onderwijsdagen, D. Age, E. Design, S. Downes, dan P. Verhagen, “Connectivism : a new learning theory ?,” J. Instr. Technol. Distance Learn., vol. 2, no. 1, hal. 1–5, 2019.

[8]     G. Siemens, “Konektivisme: Teori Pembelajaran untuk Era Digital,” J. Int. Teknol. Pembelajaran dan …, hal. 1–9, 2005.